MASYARAKAT
EKONOMI ASEAN
Tahun 2015 Asean akan makin bersatu dengan
terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean di bidang politik, ekonomi dan sosial
budaya. Ada tantangan dan peluang. KTT Asean ke-20 sudah selesai dilaksanakan di Kamboja
3-4 April 2012. KTT Asean dihadiri oleh
seluruh anggota yaitu: Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand,
Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja. Salah satu kesepakatan
penting yang akan mempengaruhi hajat hidup rakyat Indonesia adalah makin
mengerucutnya persiapan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean 2015, yakni
masyarakat politik-keamanan, ekonomi dan sosio kultural budaya.
Empat
tahun lagi kita akan menyaksikan barang-barang dan jasa dari berbagai negara di
Asean dengan mudah bisa ditemui di Indonesia. Demikian pula barang-barang dan
jasa milik Indonesia bisa beredar dengan bebas di sepuluh Negara ASEAN. Ini
bukan impian, sebab melalui Bali Concord II tahun 2003 pemimpin negara Asean
telah sepakat berlakunya Asean Community 2015. Komunitas ASEAN memiliki tiga
pilar utama yaitu komunitas politik dan keamanan, ekonomi, dan sosiokultural
harus terbentuk pada 2015.
Membayangkan Asean
sebagai kawasan pasar tunggal dan basis produksi adalah tantangan sekaligus
peluang. Kesepakatan para pemimpin Asean bukan tidak mungkin tidak dapat
dilaksanakan di Indonesia jika elemen masyarakat di Indonesia menolaknya. Masih teringat dengan penolakan elit dan
rakyat Indonesia sewaktu menolak kesepakatan Kawasan Perdagangan Bebas
Asean-China (FTA Asean-China). Kesepakatan yang dicapai 2003 dan berlaku mulai
2010 itu ramai-ramai ditolak DPR, pengusaha dan buruh.
Selama
tujuan tahun sejak disepakati, tampaknya sosialisasi kesepakatan nyaris tidak
optimal dilakukan. Elit politik dan ekonomi dalam negeri, serta merta
ramai-ramai menolak dan meminta penundaan. Elemen dalam negeri kuatir Indonesia
hanya jadi pasar produksi China. Kekuatiran ini bukan tak beralasan, sebab
neraca perdangan Indonesia-China memang terjun bebas. Defisit cukup besar
terjadi, yang artinya menggerus devisa kita. Sebagai gambaran defisit neraca
perdagangan non migas RI-China pada 2010 adalah sebesar US$ 5,6 Miliar, naik
dari US$ 4,6 miliar pada 2009 saat krisis global. Namun dibandingkan dengan
periode prakrisis 2008 yang defisit US$ 7,2 miliar, defisit pascakrisis 2010
turun signifikan. Berkurangnya defisit
perdagangan tahun itu adalah karena pertumbuhan ekspor nonmigas RI ke China
lebih tinggi daripada pertumbuhan impor nonmigas. Pada 2010 ekspor nonmigas RI
ke China US$14,1 miliar, naik 58% dibandingkan dengan 2009. Impor Indonesia
dari China naik 46% mencapai US$19,7 miliar.
Padahal
kedua RI dan China telah sepakat agar volume perdagangan kedua negara tidak
saja mencapai US$50 miliar pada 2014, tapi juga lebih berimbang dan saling
menguntungkan. Kebalikan dengan kondisi nonmigas, neraca perdagangan migas yang
pada 2008 surplus US$3,6 miliar, turun hanya surplus US$0,9 miliar pada 2010.
Itu disebabkan oleh ekspor migas RI ke China yang US$3,8 miliar pada 2008,
turun ke US$0,7 miliar pada 2010. Turunnya surplus neraca migas membuat neraca
perdagangan RI-China untuk keseluruhan produk tetap naik dari US$3,6 miliar
pada 2008 jadi US$4,7 miliar pada 2010.
Sadar
akan potensi penolakan, Wakil Presiden RI, Boediono menyatakan seharusnya
Indonesia tidak perlu kuatir. " Harusnya Indonesia tidak perlu kuatir akan
menjadi pasar barang. Kita harus pandai -pandai mengelola ini. Ini pilihan
sekaligus risiko. Ini pilihan tanpa menutup risiko. Saya yakin kita bisa karena
pasar kita cukup luas, industri kita seharusnya mampu menguasai pasar, intinya
masalahnya kita sendiri, ekonomi, industri jadi tuan rumah di negara
kita," kata Boediono di sela-sela KTT Asean di Kamboja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar